Jakarta, NU Online
Sekretaris Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Harianto Oghie menyebut bahwa di bumi pendidikan terdapat tiga dosa besar ialah perundungan (bullying), intoleransi, dan kekerasan.
Ia lantas mendorong para pembimbing dan tenaga pendidik di satuan sekolah bisa menerapkan praktik moderasi berakidah sehingga bisa mencegah alias meminimalisasi 3 dosa besar di bumi pendidikan itu.
"Peran pembimbing dan pendidik krusial bisa menjadikan pemahaman moderasi berakidah sebagai anutan, dan praktik baik di sekolah. Karena pembimbing menjadi contoh awal," ucap Oghie dalam Diskusi Publik berjudul Pendidikan Moderasi Beragama bagi Pendidik, Mahasiswa, dan Serikat Pekerja di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Jakarta, pada Jumat (19/5/2023).
Ia kemudian menjelaskan bahwa para ustadz NU telah memberikan nilai-nilai dalam menjalankan kehidupan keberagamaan. Nilai-nilai tersebut adalah tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), tawazun (berimbang), dan i'tidal (adil).
Keempat nilai itu, kata Oghie, menjadi modal untuk para pembimbing dan tenaga pendidik di lingkungan dalam upaya menerapkan moderasi berakidah di sekolah.
Oghie memaknai i'tidal sebagai sebuah dimensi keadilan, terutama soal keadilan ekonomi nan menjadi aspek utama untuk membangun kesejahteraan. Dimensi keadilan ini kudu terwujud untuk mencegah intoleransi dan radikalisme di lingkungan sekolah.
"Sehingga intoleransi itu tidak terjadi dengan adanya kesetaraan ekonomi, ini pemicu utama. (intoleransi dan radikalisme) tidak semata-mata lantaran kepercayaan (tetapi juga) lantaran ada strata sosial dan kelas-kelas nan berbeda," jelas Oghie.
Sebagai contoh, di satuan pendidikan mana pun, pasti terdapat gap ekonomi antarsiswa. Para siswa merupakan anak dari orang tua nan berbeda secara ekonomi.
"Ada anak orang kaya, ada anak orang miskin. nan kaya mem-bully nan miskin, akhirnya terjadi perkelahian, muncul radikalisme antaranak didik," katanya.
Karena itulah, tambah Oghie, moderasi berakidah kudu terus dikampanyekan dan didiseminasikan kepada semua kalangan masyarakat secara masif dan terus-menerus, khususnya di sekolah.
"Karena transformasi knowledge (pengetahuan) mengenai moderasi berakidah kudu dimulai dari adik-adik dan anak-anak kita. Saya masanya sudah lewat, generasi sekarang adalah pemilik masa depan. Oleh lantaran itu, kudu tetap belajar," ucap Oghie.
Ia kembali menegaskan bahwa peran pendidik di bumi pendidikan untuk mengampanyekan moderasi berakidah sangat penting. Sebab di bumi pendidikan ini kerap muncul pertengkaran lantaran dilandasi kesalahpahaman.
"Contoh kampus Unusia, ada strata sosial, karakter masyarakat, lingkungan hidup nan berbeda-beda, semua punya. Tenaga pendidik kudu menjadikan semua itu menjadi satu gelombang dan satu gelombang, sehingga kita semua bisa setara dan menjaga kebahagiaan bersama-sama, harmoni bersama," jelasnya.
Sementara itu, Wakil Rektor Unusia Fathu Yasik menjelaskan bahwa moderasi berakidah di Indonesia tetap rendah, terutama pada aspek toleransi.
Toleransi menjadi salah satu dari empat parameter untuk mengukur indeks moderasi beragama. Tiga lainnya adalah komitmen kebangsaan, anti-kekerasan, dan penerimaan terhadap budaya lokal.
"Moderasi berakidah tetap ada problem dan pekerjaan rumah, terutama pada aspek toleransi. Kita tetap susah toleran," kata Yasik.
Hal tersebut senada dengan penelitian Alvara Institute. Indeks moderasi berakidah secara nasional mencapai 74,9 pada skala 0-100. Komitmen kebangsaan mempunyai nilai tertinggi ialah 84,5, lampau penerimaan terhadap tradisi lokal (79,2), dimensi antikekerasan (74,6), dan toleransi (60,6).
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan